Tuesday, July 27, 2010

Ritual Tahunan Manusuk Sima


KEDIRI – Pemerintah Kota (Pemkot) Kediri dalam puncak hari jadinya yang ke 1131 ini kembali menggelar manasuk sima yang merupakan agenda tahunan setiap peringatan hari jadi. Prosesi manusuk sima tersebut dilakukan di Lapangan Tirtoyoso, dilaksanakan sekitar pukul 09.00 WIB. Dalam posesi tersebut, pemimpin upacara melakukan penyembelihan ayam Cemani dan memecah telur.

“Ini contoh bagi masyarakat yang melanggar aturan, selain itu, ayam cemani melambangkan kejahatan atau kesengsaraan, dengan disembelih, maka kita warga kota kediri berharap keselamatan akan mengarungi kota kediri hingga satu tahun mendatang” ujar Subagyo selaku pemangku ritual Manusuk Sima.

Manusuk Sima sendiri dijelaskan Subagyo merupakan ritual untuk menghormati sebuah prasasti Kwak I yang ditemukan di Tirtoyoso, yang mempunyai makna Penetapan tanah empat tampah (4 hektar) pardikan yang bebas pajak untuk kepentingan ibadah yang suci. “Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Sanksekerta,” jelasnya.

Selanjutnya, Wali Kota Samsul Ashar membacakan prasasti Kwak. Prasasti yang menggunakan bahasa Sanksekerta tersebut dibaca Samsul sekitar 1 menit. Selanjutnya, prasasti dimasukkan ke dalam peti.

Sementara itu, dalam arak-arakan prasasti dari Tirtoyoso menuju Balai Kota tersebut, diikuti ratusan orang dengan bermacam-macam dandanan. Ada yang menggunakan pakaian anoman, jaranan, barongsai, leang-leong dan drumband.

Sepanjang jalan PK Bangsa, Hayam Wuruk dan Basuki Rahmad, ratusan masyarakat berada di pinggir jalan menyaksikan aksi peserta arak-arakan. Sayangnya, tradisi tahunan kali ini tidak dimeriahkan penampilan Barongsai dan Leang-Leong seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya.

Sementara itu Wali Kota Samsul berharap, dalam usianya Kota Kediri yang ke 1131 ini berharap agar Kota Kediri tetap aman dan selalu kondusif. Selain itu, dia juga berharap agar indeks perekonomian Kota Kediri terus melangkah lebih maju. “Seperti halnya mewujudkan tribina Kota, salah satunya Kota Pendidikan, dengan itu, maka Kota Kediri akan terangkat dalam permasalahan perekonomian,” harapnya.

Saturday, July 10, 2010

Tumbuhkan Semangat PSSI Dengan Sepak Bola Api

RASA kekecewaan masyarakat Kediri umumnya dan Indonesia khsusunya dengan tidak bisa ikut dalam perhelatan Piala Dunia 2010, tampaknya bisa sedikit terobati dengan aksi yang dilakukan para santri Pondok Pesantren (Ponpes) lirboyo, Sabtu (10/7) mereka berusaha membangkitkan kembali para pemain sepak bola nasional dengan permainan sepak bola api.


Berbeda dengan pertandingan sepak bola yang ditetapkan FIFA, laga sepak bola santri ini menggunakan buah kelapa sebagai bola. Tak hanya berat dan keras, buah kelapa ini juga dikelilingi kobaran api yang sangat panas. Sebab sebelum diperebutkan di tengah lapangan, buah kelapa ini terlebih dulu direndam ke dalam minyak tanah selama beberapa jam untuk kemudian disulut menjadi bola api.

Dengan diawasi satu orang wasit, pertandingan itu dilakukan di halaman Aula Muktamar tepat pukul 20.00 – 21.30 WIB. Dengan penuh keberanian 12 pemain dibagi menjadi enam orang, layaknya tim nasional ini bermain tanpa lampu penerangan sama sekali, lapangan bola seluas arena futsal itu tampak sangat terang. Kobaran nyala api yang dipancarkan si kulit bundar mampu memecah kegelapan malam di arena pertandingan. Para pemain pun tak ragu menggiring dan menendang bola. Beberapa diantara mereka bahkan nekat menanduk batok kelapa yang keras dan panas dengan kepala.


Iring-iringan sholawat nabi terus dikumandangkan para supporter fanatik sepak bola yang mayoritas dari para santri Pospes Lirboyo. Aksi menggiring bola api layaknya Cristian Ronaldo mereka tunjukkan seolah-olah bola tersebut bukanlah api, melainkan bola bundar yang berwarna kemerahan.

Beberapa peluang untuk gol tercipta, namun kesigapan para penjaga gawang dapat menyelamatkan agar bola tidak masuk ke gawang. Para penjaga mistar gawang pun tak merasa takut untuk memegang maupun menangkap untuk menyelamatkan gawang agar tidak kebobolan.


Namun demikian, tim A berhasil memasukkan terlebih dahulu melalui tendangan keras yang tidak bisa ditangkap oleh penjaga gawang. Selebrasi layaknya tim sepak bola pun mereka tunjukkan. Babak pertama kurang 5 menit, tim B bisa menyamakan kedudukan. Akhirnya skor untuk babak pertama imbang dengan 1-1.

Saat turun minum, para pemain berkumpul untuk meminum air yang telah diberikan mantra, secara bergiliran air yang ditaruh di gayung diminum secara bergiliran. Salah satu panitia layaknya official juga memberikan arahan sebelum memulai pertandingan babak kedua. “Kamu nanti coba serang lawan melalui sayap,” kata salah seorang official dihadapan para pemain terdengar sayup-sayup.


Usai turun minum, peluit dari wasit dibunyikan, baik tim A maupun B secara bergiliran melakukan serangan, namun karena pertahanan dan juga penjaga gawang yang tangguh, hingga babak kedua usai kedudukan tetap 1-1. Akhirnya dilanjutkan dengan adu penalty.


Dalam adu penalty, tim B melakukan tendangan sebanyak 4 kali, namun tidak ada yang tercipta gol, sementara tim A juga melakukan tendangan sebanyak 4 kali, namun 1 diantaranya berbuah gol, hingga bolanya sempat membuat takut para penonton karena keluar lapangan.


Sementara itu, panitia peringatan satu abad Ponpes Lirboyo Nabil Harun menjelaskan untuk membuat bola api seperti ini sangat mudah. Para santri memilih buah kelapa yang sudah tua agar tidak terlalu berat dan kering. Selanjutnya tanpa mengupas sabut terlebih dulu, buah kelapa ini direndam ke dalam minyak tanah hingga meresap. Setelah dianggap cukup, buah kelapa ini siap disulut menjadi bola api. “Butuh lima buah kelapa dalam satu pertandingan,” kata Nabil yang tidak mengganti bola hingga hanya menyisakan tempurungnya saja atau pecah.


Alhasil pertandingan bola api ini menyedot perhatian masyarakat. Untuk menjaga bola agar tidak mengenai penonton, panitia pertandingan mengerahkan 10 pendekar silat dari Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia (Gasmi) yang dipimpin ketuanya KH. Badrul Huda Zainal Abidin. Pendekar silat yang akrab disapa Gus Bidin ini pula yang mengobati para pemain jika mengalami kecelakaan. Sebab tak sedikit dari mereka yang mengalami luka bakar ataupun terkilir.


Menurut Gus Bidin, sepak bola Api ini merupakan olah raga tradisional dengan menunjukkan keberanian dan ketangkasan. “Sepak bola ini kami selenggarakan untuk mewarisi budaya turun menurun dari Ponpes Lirboyo dan bertepatan dengan menyemarkkan piala dunia,” ujarnya ditemui usai pertandingan.


Ali Salim (22) salah satu santri yang ikut sepak bola api menuturkan, jika untuk sepak bola api ini butuh konsentrasi penuh dan keberanian, karena yang dihadapi adalah api membara yang panas. “Sebelumnya juga terlintas rasa takut, tapi karena adanya doa-doa yang kami panjatkan, kami kembali tumbuh keberanian,” ungkapnya.


Dengan adanya sepak bola menggunakan bola api ini, dikatakan Ali sebagai wujud jika orang-orang Indonesia sangatlah penuh keberanian dan layak jika suatu saat nanti bisa ikut dalam turnamen piala dunia. “Ya kami berharaplah, timnas Indonesia suatu saat bisa main di piala dunia, kami aja menggunakan bola api berani, masak tidak bisa melawan tim-tim dunia lain,” celutuknya.




Sementara itu, Toyib (23) salah satu santri asal Cilacap Jawa Tengah ini mengaku jika sepak bola menggunakan bola api tetaplah panas. “Namanya bola api tetaplah panas kang, tapi dengan adanya keberanian, rasa panas itu bisa kami atasi,” ungkapnya.