Monday, January 10, 2011

NILAI-NILAI ISLAMI PADA TRADISI LARUNG SESAJI DI TELAGA NGEBEL KECAMATAN NGEBEL KABUPATEN PONOROGO

  
Penulis saat bersama buceng raksasa yang akan dilarung ke telaga






A. Konteks Peneletian

Islam sebagai sebuah agama mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat.karena agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya[1]. Islam juga menganjurkan “Hablun minannas” yaitu tali hubung antar umat manusia.
Islam sebagai agama besar mempunyai nilai-nilai sejarah kebudayaan yang tinggi, khususnya sejarah awal masuknya Islam ke Indonesia yang disebarkan oleh para ulama’ dan auliya’ dengan menggunakan metode dakwah dan juga kerjasama dalam bidang perdagangan. Oleh karena Islam masuk melalui perdamaian, maka secara tidak langsung Islam akan berbenturan dengan kebudayaan Jawa pada saat itu, yang akhirnya melahirkan Islam dengan corak atau warna lain.
Islam di Indonesia mempunyai corak yang unik, disamping menjalankan syariat agama Islam secara utuh, mereka juga masih mempercayai ritual-ritual peninggalan dari agama Hindu-Budha, seperti halnya penyembahan terhadap leluhuryang kemudian diberi nilai-nilai keislaman didalamnya, karena pada dasarnya kebudayaan tidak mudah lenyap dari masyarakat.
Kebudayaan merupakan aktivitas manusia dan masyarakat yang mempunyai berbagai macam bentuk dan beberapa unsur. Dan diantara unsur-unsur ataupun nilai-nilai tersebut adalah sistem religi atau kepercayaan. Dari unsur berupa sistem religi tersebut, kemudian berubah menjadi sebuah wujud keyakinan dan gagasan dari Tuhan, Dewa-dewa, roh para leluhur dan sebagainya. Hal ini mempunyai maksud agar manusia mempunyai kahidupan yang seimbang dalam kehidupan lahiriah maupun batiniyah
                        Sebuah kepercayaan maupun keyakinan yang merupakan pegangan hidup masyarakat dapat diaktualisasikan atau di wujudkan dalam bentuk upacara yang di laksanakan oleh masayarakat setempat dan sekitar guna memuliakan terhadap roh para leluhur, yang oleh masyarakat tersebut di anggap dapat memberikan keselamatan ataupun pengaruh kepada manusia yang masih hidup.
                        Bangsa Indonesia yang terdiri dari suku-suku yang beraneka ini mempunyai kebudayaan yang beragam. Khususnya masyarakat Jawa yang mempunyai banyak sekali dan juga beraneka ragam kebudayaan warisan nenek moyang mereka,  yang sampai dewasa, di Era Modern masih terus dijalankan ritual-ritual tersebut, diantaranya kebudayaan Larung sesaji, sebuah kepercayaan penghormatan kepada leluhur mereka.
                        Larung sesaji sendiri merupakan salah satu dari sekian banyak kebudayaan masyarakat jawa yang tidak lain mempunyai sebuah makna yang begitu berharga bagi mereka, karena apabila kebudayaan atau ritual tersebut tidak di laksanakan maka akan mendatangkan sebuah bencana bagi mereka, dan juga masyarakat sekitar
                        Demikian halnya dengan masyarakat Telaga Ngebel dan sekitarnya yang mempunyai anggapan bahwa Telaga Ngebel mempunyai nilai-nilai sejarah atas kelangsungan hidup para leluhur mereka, dan sampai sekarang masih di percaya bahwa Telaga tersebut mempunyai nilai sebuah sejarah tentang babad tanah Ponorogo, yang juga dipercayai ada sebuah kekuatan ghaib dibalik keindahannya. Sehingga muncul tradisi yang berupa “Larung Sesaji” sebagai wujud dari anggapan mereka, yaitu mendatangkan keselamatan dengan menghormati dan juga menjaga nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
                        Larung Sesaji yang pada awalnya merupakan sebuah kepercayaan masyarakat sekitar Telaga, untuk menjaga ketentraman dan juga keseimbangan, namun seiring dengan perkembangan, dan juga peradaban Larung sesaji menjadi sebuah tradisi ataupun acara ritual yang merupakan upacara ritual keagamaan resmi dan bahkan berskala nasional bukan hanya masyarakat sekitar telaga yang mengikuti tetapi juga seluruh masyarakat kabupaten Ponorogo khususnya dan dari daerah-daerah sekitar pada umumnya, dan sampai saat ini ritual ini oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo dijadikan sebuah obyek pariwisata untuk menarik wisatawan asing.
                        Larung sesaji tersebut terus mengalami perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan, yang pada awalnya merupakan sebuah kepercayaan atau kebudayaan dari nenek moyang yang masih murni ajaran animisme. Namun dari mereka dari golongan santri khusunya Pondok Modern Gontor dan juga untuk menarik wisatawan asing maka di masukkannya unsur-unsur keislaman dalam tradisi tersebut, seperti doa-doa keselamatan dalam agama Islam, dan juga pemimpin ataupun panitia dan juga peserta larung sesaji mayoritas adalah mereka orang-orang yang beragama Islam.
                        Dalam kaitannya dengan uraian tersebut di atas maka timbul suatu keinginan dari penulis untuk mengadakan penelitian tentang Nilai-nilai ke-Islaman dari upacara Tradisi Larung Sesaji yang telah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Ngebel dan sekitarnya yang diadakan di Telaga Ngebel pada setiap tanggal 1 Sura yang bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram.

B. Fokus Penelitian

1.      Bagaimanakah kepercayaan masyarakat sekitar terhadap Telaga Ngebel?
2.      Bagaimanakah pelaksanaan tradisi Larung Sesaji di Telaga Ngebel Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo?
3.       Bagaimanakah nilai-nilai Islami yang nampak dari pelaksanaan tradisi Larung Sesaji di Telaga Ngebel Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo?



C. Tujuan Penelitian

                        Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan kepercayaan masyarakat sekitar terhadap Telaga Ngebel.
  2. Untuk mendiskripsikan lebih jauh pelaksanaan tradisi Larung Sesaji di Telaga Ngebel Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo
  3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai Islam yang nampak pada tradisi larung sesaji di Telaga Ngebel Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan bisa mempunyai kegunaan sebagai berikut:
  1. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan sikap ilmiah serta sebagai bahan dokumentasi untuk peneliti lebih lanjut.
  2. Sebagai sumbangan pemikir dan sebagai referensi serta rujukan Bagi STAIN Kediri khususnya Fakultas Ushuluddin sebagai lembaga tinggi agama Islam dalam rangka ikut memperkokoh nilai-nilai Islam dalam tradisi kebudayaan
  3. Bagi pemerintah, hasil peneliti ini dapat berguna untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya yang terdapat di Indonesia.
  4. Bagi masyarakat, sebagai sumbangan informasi bagi segenap masyarakat, khususnya yang beragama Islam untuk dapat menjaga nilai-nilai Islam yang terdapat pada tradisi larung sesaji di Telaga Ngebel



BAB II

LANDASAN TEORITIS


A.      Kebudayaan dan Tradisi Jawa
1.      Makna Sebuah Tradisi
Tradisi merupakan adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat. jadi tradisi merupakan sebuah kebiasaan yang selalu di lakukan berulang-ulang dalam waktu tetrtentu yang kesemuanya itu merupakan warisan dari nenek moyang,baik kejadian yang benar-benar terjadi ataupun hanya sebuah mitos belaka.
Adapun nama Tradisi dalam peristilahan umum berasal dari bahsa latin, trans, menunjukkan peralihan atau pemindahan, sedangkan disi berasal dari kata kerja dare dengan pengertian memberikan, seperti halnya sebuah tradisi orang-orang Yahudi tentang ibadat khas Kamis Kudus, yang merupakan tradisi jamuan makan roti dan anggur, yang awal mulanya roti merupakan daging dari Yesus dan Anggur merupakan darah dari Yesus[2].
Akan tetapi tradisi akan terus mengalami perubahan dan juga perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Tradisi sendiri akan selalu dilakukan,meskipun sudah tidak persis pada asal-usulnya, dalam keadaan tertentu sebuah tradisi akan mempunyai sifat wajib yang harus dilakukan,mereka akan merasa telah bersalah ataupun berdosa apabila tidak melakukan kebiasaan tersebut.
Adapun tradisi dalam kehidupan di Jawa adalah merupakan adat kebiasaan turun temurun yang hingga saat ini masih sering dilakukan oleh masyarakat Jawa, yang kadang ada sebuah tradisi yang dijadikan sebagai kebudayaan nasional,atau dilakukan setiap lapisan masyarakat, seperti tradisi garebeg maulud, sebuah ritual keraton ngayogyakarta untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
2.      Tradisi sebagai Bentuk Kebudayaan Jawa
Kebudayaan berasal dari kata latin “Colere” yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.[3]hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.dengan kata lain kebudayaan merupakan hasil kegiatan dari karya manusia.
Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah E.B. Taylor, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.[4]
Dalam pandangan para sosiolog arti kebudayaan merupakan keseluruhan (total) atau pengorganisasian way of life termasuk nilai-nilai, norma-norma,intstitusi, dan artifak yang dialihkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui proses belajar (Dictionary of Modern Sociology).[5] Kebudayaan merupakan “jumlah” dari sikap, adat istiadat, dan kepercayaan yang membedakan sekelompok orang dengan kelompok lain, kebudayaan ditransmisikan melalui bahasa, obyek material, ritual, institusi, dan kesenian, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.
Kebudayaan tradisional merupakan sebuah perilaku kebiasaan atau cara berfikir dari suatu kelompok sosial yang ditampilkan melalui – tidak saja – adat istiadat tertentu tetapi juga perilaku adat istiadat yang diharapakan oleh anggota masyarakatnya. Manusia hidupnya selalu di dalam masyarakat. Hal ini bukan hanya sekedar ketentuan semata-mata, melainkan mempunyai arti yang lebih dalam, yaitu bahwa hidup bermasyarakat itu adalah rukun bagi manusia agar benar-benar dapat mengembangkan budayanya dan mencapai kebudayaannya. Dipandang dari sudut antropologi, manusia dapat ditinjau dari 2 segi, yaitu:
a.       manusia sebagai makhluk biologi
b.      manusia sebagai makhluk sosio-budaya[6]
Sebagai makhluk biologi, manusia dipelajari dalam ilmu biologi, dan sebagai makhluk sosio-budaya manusia dipelajari dalam antropologi budaya, yang menyelidiki seluruh cara hidup manusia, bagaimana manusia dengan akal budinya dan struktur fisiknya dapat mengubah lingkungan berdasarkan pengalamannya. Juga memahami, menuliskan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat manusia.
Adapun masyarakat adalah kumpulan manusia yang hidup dalam suatu daerah tertentu, yang telah cukup lama, dan mempunyai aturan-aturan yang mengatur mereka, untuk menuju kepada tujuan yang sama. Maka dapat disimpulkan bahwa ternyata manusia, masyarakat, dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat lagi dipisahkan dalam artinya yang utuh. Karena ketiga unsur inilah kehidupan makhluk sosial berlangsung. [7]
Kebudayaan dalam tradisi jawa pada umumnya mempercayai tentang leluhur mereka, segala sesuatu yang dilakukan atau dipercayai oleh leluhur mereka maka mereka akan mengikuti tanpa ada rasa keingintahuan sebab-sebab ataupun asal-usul kepercayaan tersebut, mereka mempunyai kepercayaan apabila tidak menurut kepada para pendahulu (leluhur), maka mereka akan kualat atau celaka.
Pada umumnya orang-orang Jawa sangat mempercayai akan mitos-mitos ataupun cerita rakyat, yang cerita-cerita tersebut tidak pernah ditulis ataupun secara jelas kapan peristiwa tersebut terjadi, seolah-olah mereka takut untuk mencoba-coba, mereka begitu percaya dan yakin tentang mitos-mitos tersebut.
Mitos yang merupakan cerita turun temurun merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial dari berbagai sikap dan kepercayaan keagamaan. Mitos telah dianggap sebagai filsafat primitif, bentuk pengungkapan pemikiran yang paling sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah. Tetapi mitos juga merupakan jenis pernyataan manusia yang kompleks. Merupakan pernyataan yang dramatis, bukan hanya sebagai pernyataan yang rasional.[8]
Melalui mitos, manusia tidak hanya “menjelaskan dunia mereka tetapi secara simbolis juga menampilkan kembali. Mitos mempunyai cara lain dalam melihat dunia, suatu cara yang menungkapakan kesatuannya bersama dengan ketelibatan emosional manusia dan partisipasi didalamnya.[9]
3. Upacara Ritual dalam Tradisi Budaya Jawa
Ritual merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapakan dngan tepat oleh media lain. Karena berasal dari kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang spontan dalam arti betapapun peliknya, ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan dengan suatu tujuan yang disadari, pertumbuhannya tanapa rancangan, polanya benar-banar alamiah.[10]
Dalam tradisi kebudayaan Jawa ada beberapa macam upacara-upacara ritual, seperti halnya acara telung dinanan, pitung dinanan, 40 hari, 100 hari sampai 1000 hari dan tiap-tiap tahun selalu diperingati, dan biasanya mereka menghormati leluhur dengan acara-acara seperti kenduren, tahlilan, ataupun membaca surat Yasin, begitu lah orang-orang jawa sangat menghormati para leluhur, walaupun sudah meninggal mereka masih terus di slameti atau dikirimi do’a-do’a.
Adapun yang dianggap sebagai leluhur menurut urutan silsilah yang benar dalam budaya jawa, seperti dikatakan oleh R.M. Wisnoe Wardhana, Ada 17 lapis keturunan yang disebut leluhur:
1.      Bapa biyung (orang tua)
2.      Embah/eyang (kakek nenek)
3.      Embah buyut/eyang buyut
4.      Embah canggah/eyang canggah
5.      Wareng
6.      Udheg-udheg
7.      Gantung siwur
8.      Cicit mening
9.      Petarangan Bubrah
10.  Gropak senthe
11.  Gropak waton
12.  Cendheng
13.  iyeng-iyeng
14.  Giyeng
15.  Menya-menya
16.  Inya
17.  Trah tumirah[11]
namun dalam kenyataannya bahwa masyarakat jawa, menyebutkan leluhur itu hanya dalam tujuh keturunan seperti yang diperdengarkan dalam dongeng (cerita rakyat).
Adapun konsep leluhur itu berperan menjaga ikatan rohani bagi kelompok masyarakat tradisional, menjaga alam ghaib (roh-roh halus) dan menjaga kelangsungan adat. Namun dalam prakteknya sekarang ini peran seperti ini kurang terhayati, seringkali hanya berperan sebatas sebagai benteng pelindung status sosial yang kemudian kembali muncul pada masa kemajuan dewasa ini.
Seperti halnya pemakaian kembali tradisi budaya lama dalam pernikahan, mitoni, selapanan, brokohan.dan ritual-ritual yang lain, yang merupakan sebuah tradisi kebudayaan lama yang dalam masa modern ini masih sering dilakukan, agar ada sebuah keselamatan dalam kehidupan mereka dan mempererat hubungan kekerabatan diantara mereka.
Ritual-ritual dari tradisi kebudayaan lama tersebut adalah untuk menghormati leluhur mereka, agar leluhur mereka tidak murka, dan tradisi-tradisi seperti ini dikarenakan adanya kepercayaan terhadap leluhur yang merupakan leluhur dari masyarakat jawa pada umumnya menganut agama Hindu-Budha.[12]
Seperti halnya pada masyarakat Jawa yang mempunyai kebudayaan beragam dari leluhur mereka, dan diantara ikatan yang akan bisa menambah keterpaduan sosial dalam masyarakat adalah agama, karena pada umumnya masyarakat Jawa menganggap bahwa agama apa saja, mengandung ajaran (pedoman hidup) yang serba baik untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia. Agama juga dapat menjalankan peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, agama selalu mengajarkan untuk saling hormat menghormati antar sesama.
Keberadaan satuan golongan atau masyarakat sosio-religius, seperi santri atau abangan, disebabkan dan didasarkan pada sikap religius dari para anggotanya, dengan disertai kekuatan dari pengalaman religius yang selalu mendorong kekuatan golongan tersebut. Dalam hal ini satu sikap golongan yang diungkapkan dalam sebuah satuan sosial ditentukan oleh dua faktor:
1.      Peranan tradisi yang berubah dan berkembang sesuai dengan zaman
2.      Penghayatan sesuatu yang suci sebagai dasar untuk sikap religius, apakah secara perseorangan atau secara bersama.[13]
 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cliffor Geertz, masyarakat di Jawa terbagi dalam tiga jenis budayawi utama, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Adapun istilah abangan biasanya dikaitkan atau dihubungkan dengan kebudayaan desa, yaitu petani yang kurang dipengaruhi oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk. Istilah santri diterapkannya pada kebudayaan para muslimin yang memegang peraturan agama dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan atau biasanya dekat dengan masjid, yang selalu taat pada perintah agama dengan mensyiarkan syariah-syariah agama Islam.
Sedangkan istilah priyayi dikaitkan dengan kebudayaan kelas atas yang pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpangkat tinggi atau rendah. Pada zaman lampau mereka memonopoli pendidikan, baik yang bergaya Jawa atau Eropa, maka mereka mampu menjalankan pekerjaan administrasi. Dan kebudayaan mereka diturunkan dari keraton (istana) yang mewakili warisan dari kerajaan Jawa-Hindu[14].
Dalam kenyataannya masyarakat jawa tempo dulu hanya terbagi menjadi tiga bagian, Raja (pangeran), Bangsawan, dan Petani, yang pada akhirnya setelah mengalami perkembangan zaman dan juga pengaruh Belanda yang mempengaruhi tatanan struktur dalam masyarakat Jawa, yang terdiri dari empat tingkat yang dapat dibedakan, pertama para raja, kedua para kepala daerah lebih kurang setaraf dengan bupati modern, ketiga para kepala desa, dan keempat massa penghuni desa. [15]
Kepercayaan-kepercayaan religius mereka merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis yang berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran Islam. Hinduisme dan Islam telah menambahkan sejumlah kauna gaib (roh halus) kepada dunia roh orang jawa. Ibadah mereka (abangan) meliputi upacara perjalanan penyembahan roh halus, upacara cocok tanam dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat.
Kebiasaan menyembah arwah orang mati, terutama arwah para leluhur atau apa yang disebut cikal bakal, pendiri desa semula, memainkan peranan penting secara religius di antara kaum abangan. Misalnya penghormatan kepada kuburan-kuburan suci yang disebut kramat, yang sebenarnya kata kramat ini barasal dari kata Arab “karamah” yang berarti  ‘mulia’. Terdapat banyak kuburan suci di Jawa yang dianggap kramat, yang paling masyhur ialah makam para wali. Ribuan orang dari segala pelosok pulau ini berziarah ke makam-makam tersebut untuk mendapat berkah.
Karena sistem berfikir mereka yang cukup sederhana khususnya dari kaum petani, maka sampai saat ini tradisi-tradisi yang merupakan tradisi lama tersebut masih dijalankan, mereka tidak pernah berfikir yang aneh-aneh, kenapa dan apa dibalik upacara-upacara ritual tersebut. Karena pada dasarnya masyarakat kalangan bawah sangat meyakini sebuah mitos-mitos yang berupa dongeng dari mulut ke mulut.
Sistem berfikir yang bernuansa mitos tersebut berpengaruh hampir keseluruhan orang jawa, baik mereka yang tergolong maju, apalagi mereka yang belum tergolong maju, seperti halnya bagi mereka yang melakukan penggarapan pertanian sistem berfikirnya masih menggunakan ramalan-ramalan atau dihubungkan antara “usaha” dan “nasib” yang seimbang
B. Islam dan Budaya Jawa
1. Sejarah masuknya Islam di Indonesia
Sebelum Islam masuk ke Indonesia (Jawa) pada umumnya masyarakat jawa menganut ajaran agama Hindu dan Budha yang keduanya merupakan agama kerajaan-kerajaan terbesar di pulau Jawa, seperti kerajaan Dhaha, Singasari, Majapahit yang kesemuanya kerajaan terbesar di Jawa yang menganut agama Hindu, Adapun masuknya Islam ke Nusantara ini dapat dipilah dalam tiga teori-teori yaitu: Teori India, teori Arab, teori China.[16]
a.       Teori India
                        Kebanyakan sarjana-sarjana Belanda adalah pendukung teori pertama ini. Sarjana Belanda yang pertama kali mengemukakan teori ini adalah Pijnapel, yang menyatakan bahwa orang-orang Arab yang menetap di Gujarat, Malabar adalah bermadzab Syafi’i. Mereka inilah yang kemudian membawa agama Islam ke Nusantara, dan teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa kedatangan Islam di Nusantara pada abad ke-12 M.
b.      Teori Arab
Teori yang kedua mengemukakan bahwa Islam datang bukan dari India, tetapi langsung dari Arab pada abad pertama Hijriah. Sarjana-sarjana yang mendukung teori ini antara lain, T.W. Arnold dan HAMKA.  Namun teori ini masih dirasakan kelemahan-kelemahan antara lain minimnya sumber sejarahnya serta timbulnya berbagai pertanyaan antara lain:bila agama Islam dating di Nusantara pada abad ke-7 M, maka mengapa baru nampak jelas kegiatannya pada abad ke –13 M?
Namun demikian teori ini mendapat dukungan kuat dari para sarjana Indonesia. Hal ini terbukti dari hasil kesimpulan dari dua seminara tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, yang diselenggarakan di Medan (1963) dan di Aceh (1978). Dalam butir 1 dan 2 bahwa Islam untuk pertama kalinya masuk di Nusantara pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 M s/d abad ke- 8 M) langsung dari arab, serta daerah yang pertama kali didatangi Islam adalah pesisir Sumatra. Setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja yang pertama adalah Aceh.
c.       Teori China
Teori yang ketiga ini diajukan Gus Dur dalam Seminar Penyusunan Buku Sejarah Sunan Drajat, yang diadakan di Gedung Grahadi Surabaya pada tanggal 13 dan 14 September 1997. Beliau mengemukakan bahwa Islam dating dari China, bukan dari Gujarat/Persia. Terdapat tiga gelombang kedatangan Islam di Nusantara. Gelombang pertama dari perwira-perwira atau tokoh-tokoh Islam di China, kemudian disusul gelombang kedua yaitu dari Bangladesh yang membawa pengaruh madzab Syafi’i. Gelombang ketiga barulah pedagang-pedagang dari Gujarat.
Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis, atau bisa dikatakan ambruk pada tahun 1389, yang kemudian umat Islam mulai berpeluang untuk menggantikan posisi sebagai kendali politik di Jawa. Mulai dari pemerintahan kerajaan dari daerah-daerah mulai dikuasai Islam yang ditandai dengan berkembangnya Malaka, dengan raja Sultan Alauddin Syah Malaka mengalami puncak kebesarannya.[17]
Agama Islam mulai masuk ke tanah Jawa dengan disebarkan oleh Sufi dengan membenturkan antara budaya jawa dengan ajaran Islam, seperti halnya hubungan antara manusia dengan Tuhan dipahami sebagai hubungan antara kawula dan gusti, adanya kesamaan mikrokosmos dan makrokosmos yang sama-sama dianut oleh tradisi-tradisi sufi maupun Hindu[18].
Selain adanya kesamaan ketauhidan dan konsep tentang alam, ada juga kesamaan-kesamaan dalam ritual, seperti salat 5 waktu, puasa Ramadhan, Ziarah ke makam keramat, membaca Al-Qur’an, dan hidangan ritual yang mempersembahkan makanan yang kemudian dibagi-bagikan ke semua laki-laki anggota komunitas tersebut, atau kalau di jawa di sebut Slametan[19].
Setelah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, khususnya kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu terbesar mulai jatuh, kedudukan dan wewenang di Jawa dimonopoli oleh para guru/wali-wali karismatik yang mulai mensyiarkan agama Islam, dengan memberikan perpaduan antar budaya Jawa dengan Islam, seperti halnya pembangunan masjid, tempat ibadah umat Islam, yang coraknya mempunyai kemiripan dengan kerajaan Hindu. Yang hingga saat ini masih berdiri kokoh adalah masjid kudus yang merupakan bangunan masjid yang ada menara yang mirip dengan kerajaan-kerajaan pra Islam
Sultan Agung tampaknya telah melakukan banyak hal untuk mengarahkan turun naiknya Islam kerajaan, yang berorientasi mistik. Penaklukannya terhadap kerajaan-kerajaan pantai telah membatasi pesaing-pesaing yang ulama-sentris. Adapun gelar Sultan adalah upaya untuk memantapkan mandat keagamaannya. Gelar Sultan diberikan padanya oleh ulama’ Mekah tahun 1641[20].
2. Sinkritisme dalam masyarakat Jawa
                  Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertenangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan.[21].
                  Suatu langkah sinkretisme telah dipertunjukkan antara orang-orang Islam (penganut aliran “Wektu Telu”) dan Hindu di suatu tempat di Pulau Lombok, dengan mendirikan Pura Lingsar. Sebuah Pura yang digunakan untuk tempat ritual pemeluk Hindu, namun tempat itu juga digunakan shalat orang-orang Wektu Telu dan didalamnya juga terdapat symbol-simbol keislaman, seperti tangga beranak 17 yang menunjukkan jumlah rakaat shalat, dan lima buah pancuran yang menunjukkan rukun islam.[22]
Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim yang benar-benar berusaha menjadi muslim yang baik, dengan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Disamping itu juga terdapat orang-orang yang mengakui bahwa diri mereka muslim tetapi dalam kesehariannya tampak bahwa ia kurang berusaha untuk menjalankan syariat agamanya dan hidupnya sangat diwarnai oleh tradisi dan kepercayaan lokal. Dan terdapat juga kelompok yang bersifat moderat. Mereka berusaha mengamalkan semua ajaran-ajaran Islam dengan baik, tetapi juga mengapresiasikan dalam batas-batas tertentu terhadap budaya dan tradisi lokal.
Ketika Islam masuk ke Jawa ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, pada waktu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur dalam bidang politik yang ditandai dengan jatuhnya Dinasti Abbasiah oleh serangan Mongol pada 1258 M.[23] dan yang kedua, sebelum kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah berurat akar di kalangan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, dengan datangnya Islam terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama, kelompok yang menerima Islam secara total dengan tanpa mengingat pada kepercayaan-kepercayaan lain. Dan yang kedua, adalah kelompok yeng meberima Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama.
Setelah agama Islam mulai berkembang di pusat-pusat keraton di Jawa, kemudian muncul mistisisme dalam Islam Jawa yang berkaitan dengan wadah dan Isi. Alam, bentuk, fisik tubuh dan kesalehan normatif semuanya adalah wadah. Adapun Allah, Sultan, jiwa, iman, dan mistisisme semua merupakan Isi.
 Pada tingkat negara Isi mistik dibangun oleh Sultan dan keratonnya, dan wadah merupakan massa-rakyat. Wadah Sultan pribadi ditetapkan melalui ritual-ritual yang dipimpin oleh pengulu. Ritual-ritual ini penting sebab Sultan, maupun negara, harus mereplikasikan struktur kosmos. Sementara upacara-upacara krisis keagamaannya, adat-istiadat, perkawinan atau perceraian serta larangan-larangan yang berhubungan dengan makanan didasarkan pada syariah, tetapi Muslim kejawen jarang sekali mengikuti acara-acara di Masjid atau salat lima waktu. Secara umum ibadah ritual yang ditetapkan oleh hukum Islam dianggap boleh dipiih.mereka lebih mengkombinasikan semedi dan penghormatan terhadap wali, termasuk nenek moyang yang dikeramatkan. [24]
Adapun gerakan modernis dalam islam dengan tegas-tegas menolak sajian dan selamatan yang sifatnya bukan-Islam. Dengan begitu tegas mengatakan bahwa perbuatan tersebut bisa membawa manusia dalam kemusyrikan, yang berasal dari kata “syirik” sering dimaknai sebagai perbuatan yang menyekutukan Tuhan. Dan salah satu tujuan utama gerakan ini adalah memberantas tradisi yang mengarah kepada “syirik” ini.[25]
Seperti halnya kebudayaan, agama juga merupakan “sstem pertahanan” dalam arti seperangkat kepercayaan dan sikap yang akan melindungi kita melawan kesangsian, kebimbangan dan agresi yang menjengkelkan. Agama juga merupakan suatu “system pengarahan” yang tersusun dari unsure-unsur normatif yang membentuk jawaban kita pada berbagai tingkat pemikiran, perasaan, dan perbuatan.[26] 
Agama merupakan hak dan otonomi individu, maka sesungguhnya tidak ada yang salah dengan berbagai tradisi dalam kehidupan keberagaman umat, Umat sebagai individu maupun anggota masyarakat bebas dan memiliki otonomi penuh untuk melestarikan dan meyakini tradisi tertentu yang hidup dalam lingkungan masyarakat. Agama sesungguhnya juga tidak pernah bisa lepas dari proses sejarah yang bersifat lokal dan konstektual[27].
Pada dasarnya meyakini dan melestarikan tradisi sejatinya bukan merupakan perbuatan “menyekutukan” Tuhan dalam maknanya yang hakiki. Karena konsep syirik menurut Umarudin Masdar adalah:
Suatu arogansi sikap dan perbuatan yang membuat seseorang dan lalai bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan, manusia bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya. Seandainya manusia lalai dalam menjalankan amanah ini, maka ia sesungguhnya telah bersikap atau berperilaku yang sedikit banyak bisa disebut “syirik”.[28]

 Islam sebagai sebuah agama mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat.karena agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya[29]. Islam juga menganjurkan “Hablun minannas” yaitu tali hubung antar umat manusia.
Islam sebagai sebuah agama juga mempunyai sifat Rohmatal lil’alamin, bahwa Islam adalah rahmat bagi semua, Islam tidak bersifat Rigit (kaku), Islam selalu mengajarkan untuk menghormati antar sesama. Islam juga tidak identik dengan kekerasan, karena sesungguhnya Islam sangat cinta akan perdamaian.
C.     Nilai-nilai Islam
                        Nilai-nilai merupakan “Sifat-sifat (hal-hal) yang penting. Sedangkan Islam sendiri merupakan Agama yang di ajarkan oleh nabi Muhammad SAW yang berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an, yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.[30] Jadi dalam hal ini nilai-nilai Islam merupakan hal-hal yang bersifat penting atau yang berhubungan dengan agama yang di ajarkan oleh nabi Muhammad yang berpedoman pada Al-Qur’an.
                        Segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam akan memperoleh sebuah makna ataupun nilai-nilai tersendiri,begitu pun juga dengan Tradisi Larung Sesaji yang konon merupakan warisan dari nenek moyang yang beragama Hindu, akhirnya sesuai dengan peradaban dan berbenturan dengan Islam maka muncul sebuah nilai atau hal-hal yang awalnya semata-mata pemujaan terhadap nenek moyang akhirnya di masukkan unsur-unsur islam.
                        Seiring dengan perkembangan zaman dan jauhnya jarak antara awal mula tradisi umat hindu, maka secara tidak langsung nilai-nilai islam sendiri akan semakin kuat yang nantinya budaya warisan nenek moyang ini akan sepenuhnya mempunyai nilai Islam yang murni. Karena Islam sendiri bertujuan membentuk masyarakat ideal, yaitu masyarakat yang diwarnai oleh jalinan solidaritas sosial yang tinggi,rasa persaudaraan yang solid antarmanusia,[31] bukan tidak mungkin jika dengan adanya tradisi ini bisa menjalin persaudaraan antar umat manusia.
                       


Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Islam adalah
1.      Nilai kepercayaan kepada kekuatan Ghaib
                  Didalam agama, nilai keyakinan terhadap kekuatan ghaib amat dominan, manusia menganggap bahwa kekuatan ghaib itu sebagai sumber yang dapat memberi pertolongan dan bantuan kepada dirinya terrutama pada saat manusia tersebut yang dimilikinya, seperti terjadi angin topan, gempa bumi, banjir, dan sebagainya.
                  Nama dan bentuk dari kekuatan ghaib ini tidak sama dalam setiap agama. Pada agama primitif seperti  Animisme dan Politeisme, kekuatan ghaib diberi arti bermacam-macam. Pada agama Animisme oleh orang-orang Polynesia dan Melanesia menunjuk pada Mana atau kekuatan ghaib yang bersifat misterius, daya rohani, daya magis. Kami dalam pengertian pribumi Jepang dan orang-orang India disebut Hari dan orang-orang Amerika Indian menyebutkan Wakan, Orenda dan Manitu.[32]
                  Bagi umat Islam, kekuatan ghaib yang diimani adalah Tuhan YME Allah, maha pencipta. Ia tidak dapat digambarkan dengan apapun juga. Ia tempat memohon umat manusia, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidaklah mengambil tempat tertentu, namun amat dekat kepada manusia dan sekalian makhluk-makhluk-Nya yang taat. Kepercayaan kepada kekuatan ghaib ini amat penting dalam agama Islam dan biasanya dibahas lanjut dan dikelompokkan kedalam bidang tauhid atau akidah. Unsure tauhid atau akidah itu merupakan yang dominan dan mewarnai unsur ajaran Islam pada bidang yang lainnya.
                 
                  Dalam Surat Al-Baqarah
االم ذلك الكتب لاريب فيه هدى للمتقين الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوةوممارزقناهم ينفقون
“Alif lam Mim. Kitab-kitab itu tiada keraguan didalamnya, petunjuk untuk orang-orang yang memelihara dirinya dari kejahatan. Orang-orang yang beriman(percaya) kepada yang ghaib dan tetap mengerjakan sembahyang dan menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada Mereka.” (AlBaqarah : S.2 1-3).[33]
            Dalam ayat tersebut jelaslah sudah, kepercayaan kepada adanya alam yang ghaib disamping alam yang nyata ini adalah termasuk pokok kepercayaan agama. Kalau tidak ada kepercayaan kepada yang ghaib, bukanlah agama namanya. Adapun alam ghaib, tidaklah dapat dicapai dengan pancaindra. Mata tidak dapat melihatnya dan telinga tidak dapat mendengar, tidak tersentuh kepada kulit, tidak terkecap oleh lidah dan tidak terbau oleh hidung.

2.      Kepercayaan hidup dunia tergantung kekuatan ghaib
Hubungan yang baik dengan unsure kekuatan ghaib pada tahap selanjutnya membentuk pola hubungan dengan Tuhan yang sifatnya tetap dan dapat digunakan setiap waktu. Pola hubungan ini mengambil bentuk konsep ibadah dalam ajaran agama. Dalam agama Islam juga terdapat ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melalui konsep Ibadah ritual yang pelaksanaannya telah diatur oleh petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Berbeda dengan tujuan ibadah dengan ibadah lainnya, dalam agama Iaslam berhubungan dengan Tuhan bukan untuk merayu Tuhan atau membujuk Tuhan maupun menyenangkan Tuhan, sebagaimana hal itu terdapat dalam tujuan hubungan dalam agama lainnya. Dalam agama Islam berhubungan atau ibadah dengan Tuhan, dilakukan semata-mata karena Ikhlas, terima kasih dan ketaatan kepada-Nya
3.      Respon bersifat emosional
Respon tersebut dapat mengambil bentuk yang bermacam-macam seperti perasaan takut yang dijumpai dalam agama-agama monoteisme. Dalam agama primitif terdapat kekuatan ghaib yang diantaranya ada yang baik dan yang jahat, kepada kekuatan ghaib tersebut mereka mengambil sikap hati tertentu seperti rasa takut melanggar sesuatu yang menyenangkan. Berkenaan itu berkembang istilah yang disebut tabu, larangan dan pamali, yang dihubungkan dengan benda-benda tertentu atau tempat-tempat tertentu
Kepada benda-benda tertentu seperti keris atau persenjataan kuno atau pemujaan suci, mereka harus menunjukkan tempat yang khidmat tidak membuat gaduh. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dari ungkapan jiwa hidup kekuatan ghaib yang dihormati. Respon emosional dalam agama monoteisme atau agama yang bertuhankan Tuhan Yang Maha Esa, mengambil bentuk mencintai-Nya, dengan jalan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala bentuk larangan-Nya. Bentuk respon ini dirumuskan dalam konsep taqwa yang merupakan bakal hidup yang dapat menyelamatkan perjalanan hidup di dunia menuju kehidupan akherat yang bahagia.
4.      Paham yang Kudus
Paham atau keyakinan tentang adanya yang suci termasuk salah satu unsure agama yang penting dalam keyakinan ini dijumapai adanya benda-benda tertentu yang dianggap suci dan kepadanya para penganut agama harus menghormati-Nya. Hal-hal yang dianggap suci itu dapat berupa kitab suci, yang berisi ajaran-ajaran dari suatu agama. Tempat-tempat peribadatan, seperti Masjid, Gereja, Pura, Vihara, Klenteng. Peralatan-peralatan untuk kebaktian seperti pakaian untuk upacara keagamaan, benda-benda tersebut dianggap suci, karena dapat dipergunakan untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan. Tuhan diakui sebagai Yang Maha Suci harus didekati dengan yang suci pula.
                       


BAB IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

1.      Gambaran Umum dan Kondisi Geografis Masyarakat di Sekitar Telaga
Pada dasarnya kecamatan Ngebel masih termasuk dalam wilayah daerah tingkat II kabupaten Ponorogo, Kecamatan Ngebel terletak + 22 km sebelah timur laut kota Ponorogo.
Wilayah kecamatan Ngebel meliputi wilayah seluas 608,75 Ha, yang mencakup sebagian 4 desa yaitu:
-         Desa Ngebel seluas 212,50 Ha
-         Desa Sahang seluas 106,25 Ha
-         Desa Wagir Lor seluas 187,50 Ha
-         Desa Gondowido seluas 102,50 Ha
Wilayah kecamatan Ngebel terletak pada ketinggian antara 375 meter sampai dengan 800 meter dipermukaan laut, yang daerahnya merupakan pegunungan yang tepatnya di kaki gunung Wilis. Oleh karena daerah pegunungan, mayoritas penduduknya adalah petani yang juga mempunyai hasil buah dari perkebunan.[34]
 Dalam wilayah kecamatan Ngebel terdapat sebuah obyek wisata yang elok akan keindahannya, yaitu sebuah Telaga atau Danau yang diberi nama Telaga Ngebel, banyak sekali yang berkunjung ke tempat ini terutama pada waktu liburan, karena selain telaganya yang cukup indah, tetapi juga suasana alam yang sejuk
Selain itu juga disekitar telaga sudah terdapat beberapa sarana yang mendukung, seperti pertokoan, penginapan, kantor-kantor administrasi, karena memang sekitar telaga ini merupakan pusat sentral dari kecamatan Ngebel, dan juga rumah makan-rumah makan yang menyediakan ikan bakar ataupun ikan goreng dengan ikan yang masih segar.
Akan tetapi jalan yang menuju ketempat tersebut masih kurang memadai, ini dikarenakan jalan pegunungan yang terkenal dengan tanjakan masih sempit, akan tetapi angkutan-angkutan pedesaan sudah ada yang menuju kesana, khususnya dari kota Ponorogo menuju Telaga.
2.                  Kepercayaan Masyarakat sekitar terhadap Telaga Ngebel
    1. Sejarah Singkat Telaga Ngebel
Telaga Ngebel merupakan sebuah telaga di atas pegunungan, yaitu gunung Wilis dan juga merupakan sebagian obyek wisata di kota Ponorogo yang terkenal dengan kesejukan alam pegunungan. Telaga ngebel yang merupakan obyek wisata yang bertaraf nasional mempunyai begitu banyak cerita ataupun mitos dari leluhur mereka yang kemudian mempengaruhi kehidupan ataupun cara berfikir dalam masyarakat sekitar.
Telaga Ngebel diyakini masyarakat sekitar sebagai sebuah keajaiban dari leluhur mereka pada zaman dahulu.tidak banyak para sesepuh masyarakat sekitar yang meyakini adanya semacam kekuatan ghaib di Telaga, maka mereka juga mempercayai cerita turun menurun dari leluhur mereka, bahwa Telaga Ngebel dulunya merupakan sebuah desa yang penduduknya amat sangat sombong dan kikir.[35]
Cerita rakyat sebagai salah satu seni budaya Indonesia wajib digali dan ditumbuh kembangkan sehingga nantinya seni budaya merupakan kekuatan potensial dalam kepariwisataan.
Berikut ini sekedar cerita  Rakyat tentang asal muasal Telaga/Danau Ngebel:
“Dahulu kala Ki AGENG MANGIR merantau ke Jawa Timur, sampai tiba di daerah Kabupaten Nrwa, yang akhirnya Nama Tulungagung, istrinya bernama Roro Kijang ikut serta. Pagi harinya, waktu Roro Kijang menghendaki makan sirih diberinya pisau untuk membelah Pinang, namun taka dapat menemukan, lalu minta pisau kepada suaminya, diberinya sebuah pisau pusaka Seking. Sambil memberikan ia berpesan “Lekas kembalikan dan jangan sekali-kali pisau di taruh di pangkuannya”. Seking diterima dan terus dipergunakan membelah pinang sambil makan sirih, ia duduk-duduk dengan enak menikmati rasa sirih dan pinangnya sampai kemudian lupa pesan suaminya pisau pusaka ditaruh di pangkuannya, tetapi apa yang terjadi ia terkejut dan heran karena pisau di tas pangkauannya seketika itu hilang. Dengan nratap dan menangis, ia melaporkan kepada suaminya, suaminya menerima dengan hati sabar, Karena demikian itu sudah kehendak Tuhan. Untuk menebus kesalahan Roro Kijang harus bertapa di tengah-tengah Rawa. Roro Kijang yang sedang bertapa peutnya makin hari makin bertambah besar seperti orang bunting, tepat pada waktunya ia melahirkan, tetapi ia terkejut, ternyat Ia tidak melahirkan seorang anak manusia, melinkan melahirkan seekor ular. Akan tetapi bukan ular sembarang ular, kulitnya berkilau-kilau seperi emas, kepalanya seperti mahkota, Roro Kijang terkejut dan sangat takut. Roro Kijang kemudian mengambil kelinting emas yang dibawanya, dan dipasangkan pada leher ular itu, kemudian ulra tersebut ditaruh dalam tempeyan dan ditutup, sedangkan Roro Kijang menunggalkan tempat dan bertapa kelain tempat.
Bayi ular makin lama makin besar, sehingga tempeyan pecah dan ular pun dapat keluar, dan kemudian ia menjalar kekanan dan kekiri sambil menggerak-gerakkan kepalanya yang mengeluarkan bunyi kelinting, ia sangat kesepian tidak dijumpai kawan sebangsanya, manusia pun tidak ada, ia tergores dalam hatinya, seolah-olah timbul pertanyaan, siapa yang melahirkan aku, siapa orang tuaku, kemana aku harus pergi, ular besar itu lalu bergerak, mengangkat kepalanya setinggi-tingginya, kelihatan dari jauh ada seorang bertapa, ular lalu meninggalkan tempat kelahirannya menuju tempat orang bertapa, dan itu ibunya.
Roro Kijang telah mengerti bahwa itu adalah anaknya. Ia malu akan mengakui bahwa itu anaknya, ular tadi pun dapat berbicara seperti manusia, ular berkata “Hai manusia, engkaulah ibuku?”. Kemudian ibunya menjawab “bukan, aku bukan ibumu, mana ada manusia dapat beranak ular”. Kalau bukan ibuku siapakah yang melahirkan aku, kalau ibu tidak mau mengakui bahwa aku anakmu, ibu akan kutelan habis-habisan nanti. Kemudian ibunya baru mengakui bahwa ular itu anaknya dengan tanda kelinting emas tadi, yang kemudian ular tersebut diberi nama Baru Klinting.
Kemudian ibunya memberi pesan kepada ular, kalau kamu ingin tahu siapa ayahmu, kamu harus pergi dari sini, dan pergilah ke sebelah Wilis, disana ada seorang bertapa, itulah ayahmu. Ikutilah segala petunjuk dan perintahnya, kalau kamu patuh dan sanggup menjalankan perintahnya pasti akan tercapai cita-citamu.
Baru Klinting lalu berjalan ke Gunung Wilis, karena jauh yang ia tuju, lalu ia berhenti untuk beristirahat, bekas tempat ia berhenti akhirnya menjadi Desa yang dinamakan Baru Klinting, termasuk kabupaten Tulungagung. Kemudian Baru Klinting bertemu dengan ayahnya akan tetapi ayahnya tidak begitu saja mengakui kalau ular itu anaknya, sampai ayahnya mau di telan oleh ular tersebut, namun ia teringat pesan ibunya, bahwa ia tidak boleh marah kepada orang tuanya ia harus patuh dan tunduk kepada petunjuk atau perintah orang tuanya, kemudian Baru Klinting diperintah oleh ayahnya untuk melingkari Gunung Wilis, maka apabila ia sanggup ia akan diterima sebagai anaknya.kemudian ular tersebut mulai melingkari gunung, dengan Ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka ular tersebut sanggup ekor didepan pertapa sampai menyentuh kepala tetapi tinggal sepanjang jari saja.
Kemudian Baru Klinting berkata “Bagaimana ayah ini tinggal sejari saja, bagaimana kalau saya sambung dengan lidahku”. “Boleh saja” jawab sang ayah. Baru Klinting kemudian mengeluarkan lidah dengan sepanjang-panjangnya dan dapan menyentuh ekornya, sang pertapa lalu mengambil pisau dan memotong lidah ular tersebut, seketika itu ular itu lidahnya putus sebelah, dan yang satunya masih menyentuh ekornya.
Baru Klinting kesakitan, seketika itu Baru Klinting marah dan ternganga mulutnya akan menelan ayahnya, seraya berkata “Hai ayah apa maksudmu, akan membunuh akukah?” ayahnya menjawab “Bukan aku tidak akan membunuhmu, ketahuilah kamu ingin menjadi manusia bukan, manusia itu lidahnya satu, kalau kamu masih berlidah dua maka kamu tidak bisa menjelma menjadi manusia, tetapi ini belum cukup, kamu harus melalui ujian setingkat lagi, sanggupkah kau menjalani?”.
Kemudian ayahnya menyuruh untuk menelan lidah yang putus itu dan jangan dikeluarkan melalui mulut, akan tetapi melalui telinga, kemudian lidah tersebut dikeluarkan lewat telinga, namun tidak berupa lidah ular, melainkan berupa sepucuk pusaka yang disebut tombak, dan dinamakan Baru Kuping, kemudian ayahnya kembali menyuruh Baru Klinting untuk bertapa selama bertahun-tahun.
Setelah selesai segala pesan orang tuanya, Baru Klinting lalu meninggalkan tempat orang tuanya dan terus masuk hutan dan mencari tempat yang aman untuk bertapa, dalam bertapa sampai beberapa tahun lamanya badannya tertimbun oleh daun dan tanah, sehingga sebagian badannya tak kelihatan, begitu juga sebagian badan yang tidak terpendam kelihatan seperti batang kayu, bagian kepalanya saja yang dapat kelihatan terang, muncul di sesuatu desa yang dinamakan Desa Sirah Nogo, kecamatan Mlilir kabupaten Madiun.
Ada sebuah desa, Desa Ngebel namanya, pada suatu hari rakyat Desa akan mengadakan keramaian yang disebut Bersih Desa, dan dipusatkan dirumah Kepala Desa, segala biaya dipikul oleh rakyat untuk menghemat. Kemudian kepala desa memerintahkan kepada rakyatnya untuk semua orang lelaki dewasa untuk masuk ke hutan mencari Kijang, ataupun kerbau untuk pesta rakyat ini.
Pada pagi harinya orang-orang berduyun-duyun masuk hutan untuk mencari binatang untuk disembelih, namun sungguh nasib sial, hampir sehari tidak menemukan binatang buruan sama sekali, sampai semua orang merasa kelelahan, kemudian pimpinannya  menyerukan untuk istirahat sejenak sambil menunggu binatang buruan datang, diantaranya ada yang sambil duduk mengayunkan kapaknya ke sebuah batang kayu tempat ia duduk, dan ia terkejut sambil berteriak karena batang tadi mengeluarkan darah, dan semua orang mencobanya, dan semua orang mengira itu ikan belut yang besar, semua orang gembira dan batang tadi dipotong-potong sepanjang badan, dan mereka pulang dengan senang hati karena membawa daging, sesampainya dirumah Kepala Desa lalu dimasak bersama.
Sehari semalam dirumah kepala desa diadakan keramaian, ada pertunjukan wayang kulit, semua Rakyat desa laki-laki, perempuan, tua, muda semua berdatangan, orang-orang tua didalam rumah sedangkan anak-anak bermain di luar.
Waktu anak-anak sedang asyik bermain datanglah seorang anak lelaki berpakaian compang camping dan banyak luka-luka dibadannya, semua anak-anak menjauhinya dan mengejeknya, merasa dihina oleh kawan-kawannya, kemudian ia menuju kedapur minta nasi, semua orang benci melihatnya, dan tidak ada seorang pun yang memberi nasi kepadanya. Kemudian ada seorang nenek tua yang memberi nasi, karena begitui laparnya nasi itu diterima dan dimakan dengan habis, dan perutnya kenyang badannya menjadi kuat, semua luka-luka dibadannya hilang sama sekali, kemudian anak itu mendekati nenek tua dan mengucapkan terima kasih dan memberi pesan nanti kalau ada apa-apa nenek bawalah enthonh (sendok nasi) dan lekas naik lesung, sekian nenek pesanku.
Anak itu lalu meninggalkan nenek tua dan terus berkumpul dengan kawan-kawannya bermain dengan membawa sebuah lidi sapu, Ia masuk ditengah-tengah kalangan dan mengatakan “Barang siapa yang bisa mencabut lidi yang aku tancapkan ini maka akan aku kasih nasi sebungkus dengan penuh daging”, kawan-kawannya kembali mengejek sambil berkata “mencabut lidi ini, dengan jari kelingkingku saja dapat”.
Maca-macam ejekan yang disampaikan kepadanya, kemudian datang seorang anak yang paling besar dan mencoba mencabutnya, dengan sekuat tenaga tetapi tidak berhasil, semua teman-temannya mencoba, tetapi tidak ada yang mampu mencabutnya, bahkan orang-orang dewasa pun tidak ada yang sanggup.
Setelah tidak ada yang sanggup kemudian anak kecil pemasang lidi tadi datang ditengah-tengah orang banyak, sambil berkata. “Hai kawan-kawanku dan Bapak-bapak sekalian, ketahuilah bahwa orang kikir dan bathil itu tidak baik dan tidak mendapat berkat dari Tuhan, maka jangan lagak sombong dan suka menghina sesama. Kawan-kawanku dan bapak-bapak sekalian tidak ada yang sanggup mencabut lidi ini, coba perhatikan lidi ini akan aku cabut sendiri”. Anak kecil itu mencabut lidi itu dengan pelan-pelan, maka bersamaan dengan tercabutnya lidi sapu ini, tiba-tiba sebuah mata air yang besar keluar kesana-kemari menggenangi halaman pekarangan Kepala Desa, oleh karena derasnya air semua anak-anak dan orang-orang tenggelam dan mati, segala bangunan roboh terapung-apung. Sebentar saja seluruh desa tenggelam dan menjadi  DANAU. Dan dinamakan Danau Ngebel.
Dalam kejadian itu hanya dua orang yang selamat, nenek pemberi nasi dan anak kecil tadi, setelah mereka bersama-sama naik perahu dan mendarat ke tepi danau. Tempat mendarat ini di tepi pasar Ngebel, nenek Tua tinggal menetap disitu, sampai ajalnya dan dimakamkan di tengah-tengah Pasar Ngebel, nenek tua tadi dinamakan NYAI LATUNG.[36]

Begitulah cerita yang berdasarkan cerita atau dongeng turun menurun dari leleuhur masayarakat sekitar tentang asal kejadian Telaga Ngebel. Pada umumnya masyarakat sekitar banyak yang mempercayai tentang cerita kejadian atau peristiwa menyedihkan itu.  
    1. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Telaga Ngebel
Pusat kota ataupun sentral dari kecamatan Ngebel terdapat di depan Telaga ini, seperti Kantor Kecamatan, Kantor Urusan Agama (KUA), Kantor Polsek Ngebel, Kantor Koramil, dan juga sarana-sarana pendidikan, seperti TK, SD, dan SLTP, dan juga pembangkit listrik atau PLTA.
Masyarakat sekitar khususnya sesepuh mereka mempercayai akan adanya kekuatan lain dibalik kehidupan yang nyata ini, bahwa ada makhluk lain yang menghuni didalam Telaga tersebut, mereka juga meyakini bahwa disekitar telaga banyak terowongan-terowongan yang konon pada zaman penjajahan belanda dibuat persembunyian dan juga terdapat bekas-bekas benteng-benteng dari penjajahan jepang, seperti yang dituturkan Ima “ Didalam telaga ini terdapat terowongan-terowongan dan juga benteng-benteng peninggalan penjajah Jepang dan juga pemandian air bening, namun sekarang tinggal puing-puingnya saja”.
 Pada waktu-waktu tertentu ada yang memberikan sajen ataupun sekedar berdo’a di sekitar telaga tersebut, atau lebih tepatnya di pusat sumber dekatnya jembatan atau mereka sebut sebagai sumber Urip, dimana air telaga berasal dari sumber tersebut, walupun masih ada sumber-sumber yang lain, adapun yang berdo’a dalam tempat tersebut bukan hanya dari masyarakat sekitar akan tetapi juga dari luar daerah, seperti yang dilakukan oleh Bapak Wahono warga Sedah kecamatan jenangan yang mempunyai keyakinan bahwa sumber utama tersebut mempunyai barokah terhadap kehidupan mereka, khusunya dalam mencari rejeki.[37]
Mereka juga ada yang mempecayai sebuah pohon sawo yang cukup besar yang berada di dekat Telaga, seperti yang diungkapkan Bapak Budi yang mengatakan bahwa pohon tersebut ada penghuninya, seperti yang di katakana Bapak Budi bahwa pohon tersebut tidak ada yang berani menebang, walaupun dalam rencana pelebaran prasarana Telaga membutuhkan tempat yang luas, akan tetapi tinggal satu pohon sawo tersebut yang tersisa.
3.      Tradisi Larung Sesaji di Telaga Ngebel
a.  Latar Belakang
Kecamatan Ngebel dengan keelokan serta kesejukan alami telaga Ngebel yang didukung berbagai potensi yang ada, baik sumber daya alam maupun kultur budaya masyarakat yang sarat dengan ketradisionalan merupakan kekayaan yang tersembunyi yang perlu digali dan dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya. Secara fisik keindahan telaga Ngebel banyak kita jumpai didaerah lain, namun potensi non fisik tidak kita jumpai didaerah lain, spesifikasi kultur yang masih melekat meskipun diterjang arus kemajuan modernisasi teknologi.
Pulau Bali yang terkenal dikancah wisata global tidak hanya mengandalkan keindahan alamnya saja, tetapi bagi wisatawan manca negara yang lebih menarik adalah kehidupan masyarakatnya yang sangat terikat lekat dengan adat dan segala produk seni budaya yang bernilai tinggi.
Ponorogo dengan masyarakat yang terkenal “Warokan” disisi lain kehidupan santri di pondok-pondok pesantren yang sudah mendunia merupakan potensi social budaya yang menarik untuk digali dan ditumbuh kembangkan.
-   Di pulau Bali ada Leak, di Ponorogo ada Reog
-   Di pulau Bali ada Kecak, di Ponorogo ada Jatil
-   Di pulau Bali ada telaga Bedugul, di Ponorogo ada Telaga Ngebel.
Di era krisis ekonomi sector pariwisata mampu memberi harapan kehidupan dihari depan. Berangkat dari pemikiran sederhana diatas, masyarakat Ngebel berupaya menggali dan mencari bentuk kegiatan tradisional yang berakar pada kehidupan sehari-hari masyarakat Ngebel.
b. Asal-usul
Pada tanggal 12 mei 1993, sarasehan di Pesanggrahan Ngebel yang diselenggarakan oleh Kantor Depdikbud Kecamatan Ngebel, atas dasar prakarsa Muspika Ngebel dan sesepuh desa di wilayah kecamatan Ngebel sepakat untuk melaksanakan “Uapacara Tradisional 1 Syuro Larung Sesaji Di Telaga Ngebel”. Dengan tujuan :
1.      Terciptanya rasa ketentraman warga masyarakat diwilayah Telaga Ngebel (pada waktu itu banyak terjadi kecelakaan di telaga Ngebel yang membawa korban manusia)
2.      Menyajikan bentuk acara ritual tradisional yang dikemas dalam satu paket tontonan yang khas sehingga mampu menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
3.      Mendukung dan memeriahkan kegiatan grebeg Syuro di kabupaten Ponorogo.
4.      Memberikan kontribusi yang signifikan bagi PAD perekonomian masyarakat Ngebel.


c. Dasar dan tujuan
Upacara tradisional 1 Syuro di Telaga ngebel tidak terlepas dari legenda terjadinya telaga Ngebel yang konon merupakan sebuah cerita tragedi memilukan hilangnya sebuah desa beserta seluruh penghuninya tenggelam terkubur dalam sebuah danau yang sekarang bernama “Telaga Ngebel” seperti dalam cerita legenda terjadinya Telaga Ngebel.
Telaga Ngebel yang selama ini telah memberikan kehidupan masyarakat sekitarnya telah membentuk pola pikir tradisional masyarakat disekitarnya sehingga masing-masing desa dalam cara menunjukkan rasa syukurnya dengan wujud dan bentuk yang berbeda, ada yang harus mengurbankan kambing kendit warna hitam, ada yang harus mengurbankan ayam putih mulus atau hitam mulus, kegiatan-kegiatan rasa syukur pada waktu itu banyak dilakukan secara perorangan atau kelompok (Dusun atau Desa)
Berdasar pada perilaku masyarakat diatas ( investigasi sesepuh kecamatan Ngebel), maka pada tanggal 12 mei 1993 sepakat diadakan upacara tradisional 1 Syuro di Telaga Ngebel dalam bentuk “Larung Sesaji yang persyaratan ritualnya mendasarkan pada kesepakatan sesepuh desa se Kecamatan Ngebel yaitu :
1.      Kambing merah kendit putih
2.      Buceng merah
3.      Ayam merah
4.      Buceng buah, dll
Setelah melakukan segala persyaratan tersebut maka dilaksanakan upacara Larung Sesaji yang kesemuanya itu akan memeroleh tujuan :
1.      Terciptanya ketentraman dan ketenangan pada masyarakat sekitar dan juga pada para pengunjung telaga.
2.      Tidak ada lagi kejadian-kejadian atau kecelakaan yang merenggut nyawa korban yang tenggelam kedalam Telaga.
3.      Menghormati leluhur mereka, dengan harapan agar selamat dari gangguan-gangguan diluar fikiran mereka. 
4.      Pelaksanaan Upacara
a.       Tempat Upacara
Dalam pelaksanaan ritual larungan ini dipusatkan di Telaga Ngebel, yang lebih tepatnya berada di Dermaga Telaga, yang mana di dermaga tersebut ada sebuah bangunan persegi empat yang kemudian ada sebuah tangga untuk menuju ke tepi Telaga. Namun sebelum ke dermaga para rombongan di kumpulkan dan diberangkatkan dari pendopo kecamatan.
b.      Benda-benda dan Alat-alat
Adapun perlengkapan dalam pelaksanaan upacara yaitu:
1.      Kambing Kendit Merah
2.      Buceng Merah, yaitu Buceng yang berasal dari beras merah
3.      Buah-buahan, seperti: Durian, manggis, nanas, alpokat, pisang, mundu, dan juga sayur-sayuran.
4.      Rangkaian bunga-bunga untuk perhiasan dan juga dekorasi
5.      10 (sepuluh) orang prajurit pengawal harus masih jejaka
6.      10 (sepuluh) orang Gandik harus masih perawan
7.      Sesepuh tokoh masyarakat, Pejabat Tingkat Kecamatan, dan Desa se Kecamatan Ngebel dan para undangan dari tingkat kabupaten Ponorogo.
8.      Kembang setaman, mori, kemenyan.
c.       Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara
Adapun orang-orang yang melaksanakan upacara ini adalah Sesepuh masyarakat, Pejabat Tingkat Kecamatan, masyarakat Desa se Kecamatan Ngebel dan para undangan dari tingkat kabupaten Ponorogo. Dan upacara ini dipimpin langsung oleh Bupati Ponorogo.
d.      Saat Upacara
Proses Pelaksanaan Larung Sesaji
1. Acara sehari sebelum 1 Syuro (malam hari)
            Dalam pelaksanaan larung sesaji terdapat 2 acara, yaitu pada malam hari dan pada tanggal 1 Suro. Adapun acara pada malam hari merupakan ritual dari masyarakat sekitar yang menurut mbah Warsimin merupakan ritual yang paling sakral. Sebelum Prosesi larungan dilaksanakan para panitia menyiapkan segala persyaratan dalam larung sesaji, seperti halnya penyembelihan kambing kendit yang dilakukan sehari sebelum dilaksanakan, pada hari itu hari jum’at tanggal 19 Januari 2007 pada pukul 09.00 waktu setempat para panitia dan juga beberapa para pejabat dari tingkat Kecamatan sedang disibukkan dengan acara penyembelihan kambing kendit, dengan diawalai bacaan Bismillahirrohmanirrohim Bapak Saminun menyembelih kambing kendit yang letaknya memang dikhususkan yaitu dibawah jembatan, sedangkan darahnya ditaruh dalam kwali kecil.
Setelah kambing benar-benar sudah mati baru kemudian Bapak Budi dan petugas lain mulai ngurus dagingnya, akan tetapi kepala dan empat kaki harus disendirikan, yang nantinya keempat kaki ini akan di pendam di empat sudut telaga bersamaan dengan upacara larung sesaji yang diadakan pada malam hari.
Pada sore hari jam 15.00 di pendopo Kecamatan para panitia merangkai Buceng buah dan juga Buceng merah setinggi 215 Cm dan garis tengah 100 Cm, sedangkan panitia yang lain menghias Dermaga dengan rangkaian bunga-bunga. Sedangkan dari Pemimpin Pondok Modern Gontor membuat Risalah Do’a yang kemudian diadakan upacara serah terima dari Pimpinan Pondok kepada Panitia larungan.
Pada malam hari para sesepuh warga sekitar diundang ke pendopo untuk melakukan Tirakatan (le’-le’an) secara bersamaan. Pada waktu pukul 21.00 para sesepuh telah berkumpul dengan langsung dipimpin oleh mbah Warsimin acara dimulai dengan diawali sambutan dari ketua panitia pelaksana yaitu Bapak Mispan yang merestui bahwa rangkaian acara mulai dilaksanakan, setelah sambutan kembali dilaksanakan puji-pujian yang di tujukan kepada Gusti Yang Maha Kuasa dan beserta utusan yaitu kanjeng Nabi Muhammad SAW. Mereka melakukan puji-pujian bukan dengan yang biasa dilakukan oleh orang-orang santri dengan diba’an, tahlil, atau istighosah, melainkan mereka melakukan puji-pujian dengan bahasa jawa krama inggil.
Sedangkan dari kalangan para santri juga mengadakan ritual selamatan yang dilaksanakan di dua tempat, yaitu di Masjid dan di Sekolah Dasar Ngebel, mereka dari golongan para santri melakukan ritual dengan bacaan-bacaan islami seperti diawalai dengan bacaan Tahlil yang kemudian dilanjutkan dengan istighotsah
Pada pergantian tahun atau tepat tengah malam yang pada waktu itu tepat pada pukul 00.00 dilanjutkan acara Leluri Telaga yaitu para peserta adat mengelilingi Telaga dan pada tempat-tempat tertentu ditanam cok bakal yang terdiri dari kepala dan ke empat kaki kambing kendit, kembang setaman, darah yang di dalam kwali dibungkus dengan mori dan juga kemenyan, yang masing-masing penanaman cok bakal tersebut disertai dengan do’a-do’a selamat dengan diawali bacaan Bismillahirrohmaniroohim… Duh Gusti yang maha pengasih, panjenengan paringi keselamatan dumateng kito sedoyo. Allohumma robbana atina fidduniya hasanah wa fill akhiroti hasanah wakina adza bannar.
Adapun untuk kepala ditaruh atau dipendam didepan Pendopo Kecamatan beserta darah, sedangkan keempat kaki dipendam dipojok-pojok Telaga,  Setelah selesai acara keliling Telaga, para peserta kembali ke Pendopo Kecamatan untuk mengadakan kenduri.
2.      Acara 1 Syuro
                        Upacara Larungan dilaksanakan pada 1 Syuro atau tepat tanggal 1 Muharram bulan Hijriyah dalam penanggalan umat Islam, karena pada tanggal 1 Syuro ini merupakan hari jadi kota Ponorogo.[38] Dalam acara ini juga dimeriahkan dengan berbagai atraksi kesenian seperti tarian dari anak-anak sekolah, Reog Ponorogo, Drumband dari MTs dan juga Orkes Dangdut untuk menarik pengunjung ke Telaga Ngebel.
                        Pada pukul 09.40 – Bupati Ponorogo dan rombongan hadir di Dermaga Telaga Ngebel dan kotak Risalah di tempatkan di meja yang disediakan, yang kemudian diteruskan dengan kesenian tari-tarian, pada pukul 09.55 Subomanggolo mengambil Buceng dari pendopo Kecamatan dibawa ke Dermaga dengan diiringi Drumband dari para siswa-siswi MTs yang diikuti 10 prajurit pengawal dan juga 10 orang Gandik serta para sesepuh/tokoh masyarakat dengan mamakai pakaian warok. Dengan susunan sebagai berikut:
-   Barisan paling depan Drum Band dari para siswa-siswi Mts
-   Barisan para sesepuh dengan membentuk 2 barisan, 8 dikanan dan 8 dikiri
-   Diikuti belakangnya para gundik dengan membawa 8 buceng kecil
-   Para prajurit yang masih jejaka membawa umbul-umbul dan juga pusaka-pusaka.
-   Kemudian diikuti barisan pembawa Buceng Beras Merah dengan diangkat oleh 4 orang
-   Dan barisan paling belakang yaitu barisan pembawa Buceng buah yang juga diangkat oleh 4 orang
                        Pada pukul 10.00 Buceng beras merah setinggi 215 Cm dengan garis tengah 100 Cm disertai buceng kecil-kecil sebanyak 8 buah yang berasal dari desa masing-masing beserta Buceng buah dengan tinggi dan besarnya yang sama, tiba di Pesanggrahan. Yang kemudian acara dilanjutkan dengan Pembukaan oleh Protokoler, laporan ketua Panitia, sambutan Bupati Ponorogo diteruskan penyerahan kotak Risalah kepada Camat Ngebel, dan kemudian diakhiri dengan do’a dari petugas KUA setempat.    
3. Kirap Buceng
                        Pada pukul 10.55 Subomanggolo memohon ijin kirap Buceng untuk mengelilingi Telaga Ngebel dengan diiringi Drumband, adapun kedua buceng dibawa dengan mobil dan juga para sesepuh, pada awal-awal diadakannya buceng tersebut diangkat dengan berjalan dan para sesepuh juga berjalan mengelilingi Telaga, namun seiring bergantinya masa dan juga waktu buceng ini kemudian diangkat dengan mobil dan juga para sesepuh. Para sesepuh sudah merasa tidak kuat jika berjalan mengelilingi Telaga yang berjarak lebih dari 5 Km.[39]
4. Pelarungan Sesaji
                        Setelah selesai mengelilingi Telaga dengan waktu 33 menit Buceng telah sampai di Dermaga, adapun Buceng buah dibuat rebutan oleh para pengunjung, yang menurut kepercayaan dengan memakan buah tersebut, maka akan mendapatkan keselamatan dan juga rejeki yang cukup.[40] Adapun Buceng merah dibawa atau dilarung ketengah Telaga memakai Getek bambu Petung berhias Janur Kuning sebagai syarat mutlak.
                        Sebelum Buceng dilarung ke tengah-tengah Telaga ada sebuah prosesi penyerahan dari Kepala Desa Ngebel kepada Mbah Warsimin degan disertai ucapan Bismillahirrohmanirrohim Buceng meniko kulo pasrahhaken dumateng panjenegan agar masyarakat sekitar selalu mendapatkan keselamatan dan diteruskan kepada Mbah Sakun untuk dibawa ke tengah Telaga disertai do’a dari Mbah Warsimin A’udzubillahiminassyaithonirrojim. Bismillahirrohmanirrohim. Allohumma sholli a’la Muhammad wa ‘ala ali syayyidina Muhammad, Ya Alloh Ya Gusti, Panjenengan paringi kaselametan dumateng kula kalian masyarakat Ngebel Buceng beserta Kotak Risalah Do’a meniko namung bukti maturnuwun kulo dumateng panjenengan. Allohumma Sholli a’laa Muhammad… Buceng siap dibawa oleh Mbah Sakun ketengah Telaga dengan didorong sambil berenang dengan syarat tidak boleh berhenti sebelum sampai ditengah.
5.  Peserta yang hadir
                        Adapun para peserta larungan bukan dari masyarakat sekitar, akan tetapi juga dari masyarakat sekabupaten Ponorogo dan juga beberapa tamu undangan dari kota kota sekitar, seperti Madiun, Magetan, Nganjuk, dan juga dari Kediri. Adapun para pengunjung juga dari berbagai kota seperti Madiun, Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta.
6.  Nilai-nilai Keislaman
         Dalam proses pelaksanaan Larung sesaji ini walaupun masih kental dengan budaya Kejawen yang bersifat animis atau dinamis, namun yang melakukan ritual ini kesemuanya beragama Islam, dan juga banyaknya bacaan-bacaan dalam agama Islam. Adapun unsur-unsur keislamannya yaitu:
a.          Dalam pelaksanaan Larung Sesaji bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharrom 1428, ini dikarenakan karena pada tanggal 1 Suro (Muharrom) merupakan hari jadi kota Ponorogo
b.            Adanya bacaan-bacaan do’a dengan bahasa arab dan juga bahasa jawa, yang do’a ini bersifat emosional.
c.             Pelarungan yang dilakukan oleh mbah Warsimin dengan penyebutan Gusti Kang Moho Kuwaos, dalam istilahnya Allah SWT.

d.    Terdapat pembacaan do’a بسم الله الرحمن الرحيم disetiap pelaksanaan ritual





BAB V

PEMBAHASAN



  1. Kepercayaan Masyarakat sekitar terhadap Telaga Ngebel
Telaga Ngebel diyakini masyarakat sekitar sebagai sebuah keajaiban dari leluhur mereka pada zaman dahulu.tidak banyak para sesepuh masyarakat sekitar yang meyakini adanya semacam kekuatan ghaib di Telaga, maka mereka juga mempercayai cerita turun menurun dari leluhur mereka, bahwa Telaga Ngebel dulunya merupakan sebuah desa yang penduduknya amat sangat sombong dan kikir.[41]
Tidak kesemuanya masyarakat Ngebel mempercayai akan mitos ataupun cerita rakyat tentang asal kejadian Telaga Ngebel, banyak dari mereka khususnya dari golongan muda yang mengatakan bahwa Telaga Ngebel hanyalah sebuah fenomena alam yang tidak ada kaitannya dengan cerita Baru Klinting, karena menurut mereka cerita tersebut tidak bisa diterima dengan akal sehat. Mereka mempercayau hanya sebagai sebatas pengetahuan, tidak perlu dilebih-lebihkan[42]
Adapun yang mempercayai dan bisa dikatakan melebih-lebihkan kawasan Ngebel adalah mereka dari golongan para sesepuh, yang konon ada sebuah misteri didalam atau didasar Telaga, dan juga ada tempat-tempat khusus yang dikeramatkan, seperti Sumber Urip (sumber paling besar yang menurut cerita dahulu kala air di Telaga ini berasal dari sumber ini), Jembatan (dijadikan tempat penyembelihan kambing kendit karena ditempat ini air telaga keluar untuk penghidupan masyarakat sekitar dan juga pertanian), dan juga di depan pendopo kecamatan.
Pada waktu-waktu tertentu ada yang menyebar kembang setaman dan juga membakar kemenyan, seperti yang dituturkan mbah Sami’un orang yang menyebar kembang tersebut kebanyakan dari keluarga yang dahulu pernah tenggelam dalam telaga ini. Adapun mbah Warsimin mengatakan “Lek kowe ora ganggu, maksude ora neko-neko, kowe yo ora bakal diganggu.” (kalau pun kamu tidak mengganggu ketenangan dalam Telaga ini maka kamu juga akan selamat, tidak akan diganggu)
  1. Pelaksanaan Tradisi Larung Sesaji di Telaga Ngebel Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo.
Dalam pelaksanaan Ritual Larung Sesaji dilaksanakan pada tanggal 1 Suro yang bertepatan dengan tahun baru Hijriyah, karena menurut cerita para sesepuh masyarakat Ngebel khususnya dan masyarakat kota Ponorogo meyakini bahwa tanggal 1 Suro merupakan hari jadi Ponorogo. Larung Sesaji sendiri merupakan rangkaian dari beberapa acara yang dilakukan Pemkab Ponorogo untuk menghormati dan juga bukti terima kasih kepada para leluhur, dan juga kepada Allah SWT.
Tradisi Larung Sesaji merupakan upacara ritual  yang mempunyai nilai sakral yang bersifat emosional untuk menjaga hubungan baik dengan kekuatan dibalik kehidupan didunia ini yang mmpunyai sifat ghaib, karena dengan menjalin hubungan dengan kekuatan yang ghaib kesejahteraan hidup dunia akherat bias berlangsung dengan sejahtera. Seperti halnya rirual Larung Sesaji ini yang mempunyai tujuan agar masyarakat sekitar mempunyai ketenangan[43]
3.      Nilai-nilai Islami yang nampak dari pelaksanaan tradisi Larung Sesaji di Telaga Ngebel Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo
Dalam pelaksanaannya, Larung Sesaji merupakan upacara tradisi dari masyarakat Ngebel dengan tujuan agar terciptanya rasa ketenteraman warga masyarakat, karena pada sebelum diadakan Larung Sesaji banyak terjadi kecelakaan di Telaga Ngebel yang membawa korban manusia. Upacara tradisional Larung Sesaji ini berawal dari tradisi bersih desa yang memang telah ada dan menjadi tradisi yang mengakar didesa-desa pada umumnya. Upacara Bersih Desa ini sendiri pada hakekatnya merupakan perwujudan dari rasa syukur warga masyarakat desa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkah dan rahmat-Nya.
Larung Sesaji yang merupakan ritual dari masyarakat setempat mempunyai nilai-nilai Islami yang diantaranya adanya sebuah kepercayaan kepada kekuatan ghaib bahwa dengan mengadakan ritual ini, masyarakat percaya dan meyakini bahwa ada kekuatan ghaib dibalik kehidupan didunia ini. maka Telaga Ngebel tidak lagi ada musibah, seperti kecelakaan yang sebelumnya sering terjadi dan memakan korban jiwa.
Masayarakat Ngebel meyakini bahwa kesejahteraan hidup didunia dan akherat tergantung pada hubungan yang baik dengan kekuatan ghaib. Hal ini diwujudkan atau dibuktikan dengan mengadakan Larung Sesaji yang menurut keyakinan masyarakat Ngebel, larung sesaji merupakan bukti dari rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
Prosesi Larung sesaji yang mempunyai sifat mistis ini berawal dari sebuah respon yang bersifat emosional terhadap musibah yang sering terjadi di Telaga Ngebel, yang kemudian mengadakan musyawarah dari para sesepuh untuk mengatasi musibah ini, maka dari mereka memunculkan ide untuk mengadakan upacara Larung Sesaji dengan sebuah Buceng untuk dilarungkan ke telaga.
Buceng sendiri mempunyai arti Nyebuto Seng Kenceng (Sebutkan yang jelas dan keras secara terus menerus) maksudnya bahwa masyarakat sekitar agar selalu menyebut nama Tuhan dengan mengadakan dzikir atau asma’ul husna dalam prosesi Larung Sesaji, atau tepatnya pada waktu acara perenungan atau lek-lek’an.  yang kemudian diadakan kendurenan


BAB VI

PENUTUP



Kebudayaan merupakan aktivitas manusia dan masyarakat yang mempunyai berbagai macam bentuk dan beberapa unsur. Dan diantara unsur-unsur ataupun nilai-nilai tersebut adalah sistem religi atau kepercayaan. Dari unsur berupa sistem religi tersebut, kemudian berubah menjadi sebuah wujud keyakinan dan gagasan dari Tuhan, Dewa-dewa, roh para leluhur dan sebagainya. Hal ini mempunyai maksud agar manusia mempunyai kahidupan yang seimbang dalam kehidupan lahiriah maupun batiniyah
Sebuah kepercayaan maupun keyakinan yang merupakan pegangan hidup masyarakat dapat diaktualisasikan atau di wujudkan dalam bentuk upacara yang di laksanakan oleh masayarakat setempat dan sekitar guna memuliakan terhadap roh para leluhur, yang oleh masyarakat tersebut di anggap dapat memberikan keselamatan ataupun pengaruh kepada manusia yang masih hidup.
Kebudayaan Larung sesaji, sebuah kepercayaan penghormatan kepada leluhur mereka. Larung sesaji sendiri merupakan salah satu dari sekian banyak kebudayaan masyarakat jawa yang tidak lain mempunyai sebuah makna yang begitu berharga bagi mereka, karena apabila kebudayaan atau ritual tersebut tidak di laksanakan maka akan mendatangkan sebuah bencana bagi mereka, dan juga masyarakat sekitar.
Larung sesaji sendiri merupakan sebuah ritual upacara yang merupakan tradisi secara turun temurun dari sebagian masyarakat Jawa. Ritual tersebut merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapakan dengan tepat oleh media lain. Karena berasal dari kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang spontan dalam arti betapapun peliknya, ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan dengan suatu tujuan yang disadari, pertumbuhannya tanapa rancangan, polanya benar-banar alamiah.[44]
Dalam pelaksanaan larung sesaji terdapat 2 acara, yaitu pada malam hari dan tepat pada tanggal 1 Suro. Adapun acara pada malam hari merupakan ritual dari masyarakat sekitar yang menurut mbah Warsimin merupakan ritual yang paling sakral. Dan yang kedua ritual yang tepat pada tanggal 1 Suro merupakan usaha untuk menarik wisatawan.
Dalam proses pelaksanaan Larung sesaji ini walaupun masih kental dengan budaya Kejawen yang bersifat animis atau dinamis, namun yang melakukan ritual ini kesemuanya beragama Islam, dan juga banyaknya bacaan-bacaan dalam agama Islam. Adapun unsur-unsur keislamannya yaitu:
a.       Dalam pelaksanaan Larung Sesaji bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharrom 1428, ini dikarenakan karena pada tanggal 1 Suro (Muharrom) merupakan hari jadi kota Ponorogo
b.      Adanya bacaan-bacaan do’a dengan bahasa arab dan juga bahasa jawa, yang do’a ini bersifat emosional.
c.       Pelarungan yang dilakukan oleh mbah Warsimin dengan penyebutan Gusti Kang Moho Kuwaos, dalam istilahnya Allah  
d.   Terdapat pembacaan do’a بسم الله الرحمن الرحيم disetiap pelaksanaan ritual
  



[1] Drs. D. Hendropuspito, Oc, Sosiologi Agama,  (Yogyakarta, 1984), 34
[2] Mukti Ali ,Agama dan Masyarakat,(IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993), 202-203.
[3] Joko Tri Prasetya, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta:PT Rineka Cipta,1998), 28
[4] Ibid., 29
[5] Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), 109
[6] Ibid., 35
[7] Ibid., 36
[8] Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama, ( Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1996), 79
[9] Ibid.,80
[10] Ibid.,76
[11] Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yoyakarta : LESFI, 2002), 57-58.
[12] Ibid., 61
[13] Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 2-3.
[14] Ibid., 9
[15] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta :Gama Media, 2000),. 213
[16] MPA no 246/Muharram/Shafar/TH 1428 H/Februari 2007/TH. XX, (Departemen Agama Provinsi Jatim, Februari 2007), 66
[17] Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok pikiran tentang Paradigma & Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004),198
[18] Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, (Yogyakarta : LkiS, 1999), 9.
[19] Ibid., 84
[20] Ibid., 87
[21] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta :Gama Media, 2000), 87
[22] Ibid., 89
[23] Ibid., 93
[24] Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, (Yogyakarta : LkiS, 1999) 105
[25] Umaruddin masdar, Agama Orang Biasa, (Yogyakarta: LkiS, cet II 2002), 106
[26] Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama, ( Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1996),216-217
[27] Ibid., 108
[28] Ibid.,109
[29] Drs. D. Hendropuspito, Oc, Sosiologi Agama,  (Yogyakarta, 1984), 34
[30] Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[31] Dr. Daud Rasyid, MA, Islam dalam berbagai dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 238.
[32] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), 70-72
[33] Departemen Agama, Alquran dan Terjemah
[34] Observasi, Monografi dari Kecamatan Ngebel, 5 Desember 2006
[35] Wawancara dengan Mbah Warsimin, 4 Desember 2006
[36] Dinas Pariwisata,
[37] Observasi, 6 Desember 2006
[38] Wawancara dengan mbah Warsimin
[39] Wawancara dengan mbah Budi
[40] Wawancara dengan salah satu pengunjung
[41] Wawancara dengan Mbah Warsimin, 4 Desember 2006
[42] Wawancara dengan Ima, 5 Desembae 2006
[43] Wawancara Mbah Budi.
[44] Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama, ( Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1996), 76

No comments:

Post a Comment