Perlindungan bagi keselamatan wartawan dalam menjalankan tugas
jurnalistiknya sudah merupakan kewajiban dunia internasional. Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council) Perserikatan Bangsa-Bangsa
di Wina, Austria, dalam resolusi yang disepakati oleh seluruh anggotanya pada
27 September 2012 untuk pertama kali menegaskan pentingnya keselamatan wartawan
sebagai unsur fundamental pada kebebasan ekspresi.
Dalam resolusi itu, lembaga PBB tersebut menyerukan kepada negara-negara di
dunia agar ”mengembangkan lingkungan yang aman bagi para wartawan dan yang
memungkinkan mereka dapat melaksanakan pekerjaannya secara independen.”
Resolusi itu juga menyerukan untuk mencegah impunitas dengan melakukan ”investigasi
yang tidak memihak, cepat, dan efektif” mengenai tindakan kekerasan terhadap
wartawan.
I.
Latar
Belakang
Keselamatan
wartawan masih menjadi masalah yang serius di Indonesia. Selama ini telah terjadi
banyak kekerasan terhadap media atau wartawan. Aspek yang menonjol dalam
penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan adalah belum adanya pedoman
tentang tahap-tahap dan mekanisme penanganan masalah yang dapat menjadi rujukan
bagi berbagai pihak terkait. Karena itu perlu disusun pedoman penanganan kasus
kekerasan terhadap wartawan. Pedoman ini diharapkan dapat
melengkapi ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam rangka penyelesaian
kasus-kasus pers.
II. Definisi Kekerasan Terhadap Wartawan
Kekerasan terhadap wartawan yang dimaksud ialah kekerasan
terhadap wartawan yang sedang menjalankan pekerjaan jurnalistik atau kekerasan
yang diakibatkan oleh karya jurnalistiknya.
Bentuk kekerasan
yang dimaksud adalah:
1) kekerasan fisik termasuk penganiayaan ringan,
penganiayaan berat, penyiksaan, penyekapan, penculikan, dan pembunuhan.
2) kekerasan non-fisik termasuk ancaman verbal, penghinaan,
penggunaan kata-kata yang merendahkan, dan pelecehan.
3) perusakan peralatan liputan seperti kamera dan alat perekam.
4)
upaya menghalangi
kerja wartawan untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi, yaitu dengan merampas peralatan kerja wartawan atau tindakan
apa pun yang merintangi tugas wartawan sehingga tidak dapat memproses pekerjaan
kewartawanannya.
5)
Bentuk kekerasan
lain terhadap wartawan yang belum disebut dalam pedoman ini merujuk kepada
definisi yang diatur KUHP dan UU HAM.
III. Prinsip-Prinsip Penanganan Kasus Kekerasan
Terhadap Wartawan
1.
Penanganan kasus
kekerasan terhadap wartawan harus dilakukan atas persetujuan korban atau ahli waris.
2.
Penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan
harus dilakukan secepatnya.
3.
Langkah-langkah penanganan kasus kekerasan
terhadap wartawan sebagai berikut:
a) Pengumpulan
informasi dan verifikasi, yaitu membuat kronologi, menentukan pihak-pihak yang terlibat, baik korban
dan pelaku maupun saksi mata, serta mengumpulkan bukti-bukti.
b) Verifikasi dimaksudkan untuk menentukan apakah kasus
kekerasan yang terjadi berhubungan dengan kegiatan jurnalistik atau tidak.
c) Identifikasi keperluan korban, antara lain kondisi
kesehatan, keselamatan, hingga kemungkinan evakuasi korban dan keluarganya.
d) Pengambilan kesimpulan dan rekomendasi:
1. langkah litigasi atau proses hukum,
2. langkah non-litigasi atau di luar proses hukum.
e) Langkah koordinasi baik tingkat lokal maupun tingkat nasional yang melibatkan organisasi profesi, media
tempat wartawan bekerja, Dewan Pers, kepolisian, LSM media, atau LSM HAM.
f) Pengumpulan dana untuk
proses penanganan.
4. Perlu dilakukan penyelidikan apakah wartawan murni
menjadi korban kekerasan atau apakah wartawan ikut berkontribusi pada
terjadinya kekerasan.
5. Jika kasus kekerasan
berhubungan dengan kegiatan jurnalistik, maka penanganannya menjadi tanggung jawab
bersama perusahaan pers,
organisasi profesi wartawan, dan Dewan Pers.
6. Jika kasus kekerasan tidak berhubungan dengan kegiatan jurnalistik, maka tanggung jawab langsung untuk melakukan penanganan berada pada penegak hukum.
IV. Tanggung Jawab Perusahaan Pers
7.
Perusahaan pers adalah pihak pertama
yang bertanggung jawab
untuk memberikan perlindungan yang bersifat segera terhadap wartawan dan keluarga korban
kekerasan, baik wartawan yang berstatus karyawan
maupun non-karyawan.
8.
Tanggung jawab perusahaan pers
meliputi: menanggung biaya pengobatan, evakuasi,
dan proses pencarian fakta;
berkoordinasi dengan organisasi profesi wartawan, Dewan Pers, dan
penegak hokum; serta memberikan pendampingan hukum.
9.
Perusahaan pers tetap melakukan
pendampingan meskipun kasus kekerasan terhadap wartawan telah memasuki proses
hukum di kepolisian
atau peradilan.
10.
Perusahaan pers tidak dapat memaksa
wartawan untuk melakukan perdamaian dengan pihak pelaku kekerasan atau meneruskan kasus tanpa persetujuan wartawan korban kekerasan.
11.
Perusahaan pers tidak dapat melakukan
perdamaian atau kesepakatan-kesepakatan tertentu dengan pihak pelaku kekerasan
tanpa melibatkan wartawan korban kekerasan.
V. Tanggung Jawab Organisasi Profesi Wartawan
12. Melakukan
pendampingan terhadap wartawan dan keluarganya yang
menjadi korban kekerasan, termasuk ketika kasus kekerasan
tersebut telah memasuki proses hukum. Proses pendampingan
mengacu kepada langkah-langkah penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan
sebagaimana diatur dalam Bab III butir 3.
13. Pengurus organisasi di tingkat lokal mengambil peran
lebih besar dan bertindak secara proaktif untuk melakukan advokasi terhadap
wartawan korban kekerasan atau keluarganya.
14. Turut mengupayakan dana yang dibutuhkan untuk penanganan
kasus kekerasan terhadap wartawan.
15. Tidak membuat pernyataan yang menyalahkan pihak tertentu
atas terjadinya kekerasan terhadap wartawan, sebelum melakukan proses
pengumpulan dan verifikasi data.
VI.
Tanggung
Jawab Dewan Pers
16. Mengingatkan perusahaan pers akan tanggung jawabnya
sebagaimana telah diatur dalam Bab IV butir 7 sampai 11.
17. Berkoordinasi dengan perusahaan pers dan organisasi profesi
wartawan untuk melakukan penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan sesegera
mungkin, mencakup proses-proses penanganan kekerasan terhadap wartawan
sebagaimana diatur dalam Bab III butir 3.
18.
Turut bertanggung jawab mengupayakan dana yang
dibutuhkan untuk menangani kasus kekerasan terhadap wartawan sampai proses hukum dinyatakan selesai.
19.
Berkoordinasi dengan penegak hukum
untuk melakukan langkah-langkah penanganan yang diperlukan untuk melindungi
wartawan korban kekerasan atau keluarganya, serta memastikan
penegak hukum memproses
pelaku kekerasan dan bukti-bukti tindak kekerasan.
20.
Bersama perusahaan pers dan organisasi profesi
wartawan mengawal proses hukum kasus kekerasan terhadap wartawan dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk mempercepat prosesnya.
VII. Ketentuan Penutup
21.
Media massa perlu menghindari pemberitaan kasus kekerasan terhadap wartawan yang dapat
menghambat penanganan masalah, termasuk mempersulit proses
evakuasi dan perlindungan korban.
22. Organisasi profesi wartawan dan perusahaan
pers harus
bersikap adil,
dan memberikan sanksi tegas jika pada akhirnya ditemukan bukti-bukti bahwa
wartawan melanggar kode etik jurnalistik dan atau turut menyebabkan
terjadinya kasus kekerasan.
23. Perusahaan pers, asosiasi perusahaan pers, dan organisasi
profesi wartawan membentuk lumbung dana taktis untuk penanganan tindak
kekerasan terhadap wartawan. Dewan Pers memfasilitasi proses pembentukan
lumbung dana taktis tersebut.
24. Setiap kasus kekerasan terhadap wartawan akan
diselesaikan melalui proses hukum. Kecekatan para penegak hukum amat penting untuk
menghindari impunitas yang menyebabkan penyelesaian kasus kekerasan terhadap
wartawan dan media pers terabaikan dalam waktu yang tidak menentu.
25. Jika korban memilih proses perdamaian, maka setiap proses perdamaian antara wartawan yang menjadi korban dan pelaku kekerasan akan melibatkan perusahaan pers
dan organisasi profesi wartawan. Dewan Pers dapat dilibatkan atas permintaan korban, perusahaan
pers, atau organisasi profesi.
No comments:
Post a Comment